Presiden SBY kembali mengulang lagu lama dengan mengeluarkan pernyataan jihad melawan korupsi. Dia juga meminta semua jajaran pejabat negara tidak menyalahgunakan kekuasaan. “Mari kita cari rejeki yang halal. Korupsi membuat negara kita gelap. Rakyat tahu siapa-siapa yang tidak bisa meninggalkan kebiasaan mencari rejeki yang tidak halal dan melanggar aturan,” katanya. Itu katanya sih sekali lagi katanya, sebenarnya disadari atau tidak pada masyarakat awam sudah tertanam bahwa SBY telah SEOLAH-OLAH berhasil memberantas korupsi. Besannya aja ditangkep, tuh kira-kira kacamata buta orang awam saat bicara soal korupsi. Haa??? Tidak hanya itu pak BeYeeee….
Korupsi memang telah mendarah daging di negeri ini. Dalam tubuh manusia, ia ibarat sel kanker ganas stadium IVB yang telah menjalar ke seluruh organ. Padahal, untuk memusnahkannya hanya perlu satu itikad baik : Jujur Memegang Amanah. Masalahnya...
justru hal inilah yang sungguh sulit dilakukan. Bahkan, para pejabat di negeri ini malah memberikan tontonan yang sungguh tidak mendidik ketika mereka ditangkap KPK, disidang hingga kemudian akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Ada yang tertangkap tangan sedang berdua dengan selingkuhannya sedang membicarakan akan dikemanakan uang OKE atas persetujuan ini itu. Para legislator di Senayan (yang notabene harusnya membawa aspirasi rakyat) juga mengakui bahwa titip menitip proyek di kalangan politisi sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Itu artinya mereka hanya melaksanakan aspirasi pribadi buakan suara rakyat. Akibatnya korupsi sudah mengakar dan berurat, mulai dari ruang lingkup yang kecil hingga pucuk pimpinan. Itulah yang kemudian negara kita masih mendapat rating yang memalukan dalam hal pemberantasan korupsi. Akar kecil contohnya, seorang kepala tata usaha di SMA tiap bulan mengeluarkan anggaran dana untuk pembelian ini itu, namun kenyataannya barang tersebut tidak pernah dibeli. Hanya dibeli sekali saja dalam waktu setahun sedangkan pembiayaannya ditulis seolah-olah tiap bulan barang tersebut habis terpakai. Mungkin uangnya tidak seberapa, namun betapa itu sangat merusak akhlak manusia. Batang-batang korupnya bisa dilihat diberbagai sudut pemerintahan. Istilah suap ini itu begitu banyak terkuak dan itu baru sepersekian dari realita yang masih terhidden. Malah parahnya lagi, ada banyak akademisi dari penegak hukum yang pesta pora dengan uang haram tersebut. Ckckckckc….
Mendekati Pemilu Legislative 9 April 2009 ini, kita sebagai rakyat harus waspada. Ada beratus ribu Caleg yang minta dipilih, sementara itu di satu sisi kita tidak banyak tahu apa saja kiprah mereka selama ini. Yang kita terima beberapa bulan belakangan ini hanya terror wajah di simpang-simpang jalan, muka orang yang terpaksa memanjat pohon siang malam, bagi-bagi stiker serta kalender. Beberapa nama bahkan menambahkan nama lainnya yang dianggap lebih tenar dan memiliki harga jual lebih tinggi dari nama aslinya selama ini atau menmbahkan nama orangtua atau orang lain untuk memperjelas dia siapa. Sebenarnya dari tingkah sepeti itu sudah bisa dilihat mentalitasnya sebagai calon pemimpin, dialah orang yang tidak punya pendirian, memiliki keyakinan bahwa ia tidak akan mampu berjuang hanya dengan membawa namanya. Maka ia akan bergantung dengan nama besar besar keponakan adik mertua kakak ipar sepupu buyutnya hehe. Pemimpin apa seperti itu? Tapi yang namanya usaha kita pun maklumlah. Sebab ibarat menjelang pernikahan, kinilah masa para Caleg melamar rakyatnya. Berebut simpati dan hati rakyat agar kemudian dialah yang terpilih. Karena itu jenis hantaran pun berbeda-beda. Ada bantuan masjid, ada paket sembako, ada paket bantuan alat-alat olahraga, ada seperangkat jilbab dan baju kaus dan ada uang tunas sebesar bla-bla-bla.
Di sisi lain, orang Melayu sebenarnya telah punya metafora yang rancak tentang kepemimpinan. Orang Melayu memandang pemimpin bagaikan air. Sehingga dibidaslah ia dengan pepatah Melayu berbunyi : Air di hilir takkan jernih, kalau di hulu airnya keruh. Itu bermakna, kehidupan rakyat (air di hilir) tidak akan pernah baik (jernih) jika para pejabatnya (air di hulu) membuat kebijakan yang tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat. Karena itu jugalah ada perkataan bijak yang berbunyi : leader id a reader. Pemimpin adalah pembaca. Sebab itu pemimpin haruslah orang yang cerdas dengan cakrawala berpikir yang luas. Selain itu, pemimpin juga harus bisa membaca tingkat emosi rakyatnya. Apakah ia masih dalam rentang malu, menghindar, merajuk, latah, aruk atau sudah mengamuk karena muak.
Masalahnya, yang menjadi tanda tanya besar sekarang adalah, apakah para pemimpin yang ada sekarang masih sebatas kualitas air keruh? Sementara, saat ini sudah semakin banyak di antara rakyat yang telah memandang para pemimpinnya dengan kualitas air limbah. Logikanya saja, kalau air keruh, tentulah ia masih bisa disaring hingga kemudian masih didapat air yang bisa dipakai. Walaupun makna bisa dipakai di sini sudah sangat rendah. Sebab walau bagaimanapun, kualitas terbaik tentulah air yang jernih. Air yang terbaik yang ketika diminum justru menyehatkan. Kalau saringan air keruh, paling-paling ia hanya bisa dipakai sebagai pembasuh kaki. Tapi, apa jadinya kalau sudah menjadi air limbah? Jangankan dipakai sebagai pembasuh kaki, keberadaannya saja sudah bisa mendatangkan penyakit. Sebab itu, cobalah kita bertanya pada diri sendiri, apakah para pemimpin yang ada sekarang masih punya kualitas air keruh atau bahkan sudah air limbah semuanya? Wallahu a’lambissawab.
Meraba, adopsi from Bapos, Bangka Pos...
BalasHapusReferensi Pemilu 2009